Part 1
Setelah berminggu-minggu
berkontemplasi, Akhirnya aku juga memilih menjadi wartawan. Ini bukan akhir
dari persahabatan ku dengan irkab, tapi ini adalah salah satu cara yang tepat
untuk menghentikannya menjadi seorang jurnalis pelacur.
Ada benarnya kata-kata
orang bijak “ada yang membelai, agar
membuat mu lalai dan ada yang menampar agar membuat sadar”, posisi ku
sekarang untuk irkab, ada di sajak kalimat kedua, datang menamparnya agar dia
cepat sadar.
Tidak ada seorang
sahabat yang rela melihat sahabatnya sendiri, terjerumus ke lembah kenistaan.
Begitu pula dengan ku, irkab adalah
seorang sahabat ku, tidak elok rasa hatiku membiarkannya begitu saja, berpantun
bohong di media portal berita penjilat pemerintah.
Setelah memilah beberapa hari portal berita
yang cocok dengan misi ku, akhirnya aku menemukannya, aku melihat isi beritanya
sangat objektif dan berani. Aku menawarkan diri sebagai jurnalis tetapnya. Sebagai
persyaratan aku wajib mengirimkan beberapa tulisan ku. Tak di sangka pemimpin
redaksinya menyambutku dengan hangat, dia menyuruh ku menemuinya “kalau
sudah pulang kampung, jumpai saya”.
Sebelum pulang kampung,
berminggu-minggu aku menyibukkan diri belajar membuat berita, opini dan
mengamati tulisan jurnalis-jurnalis di sini. Demikianlah pola fikir ku, aku
mesti kerja keras jika ingin pandai, aku tidak begitu peduli dengan penilaian dan
bakat-bakat, yang aku tau usaha yang maksimal akan mendapatkan hasil yang
maksimal pula.Aku lebih memilih menjadi kuda bajak “si pekerja keras” dari pada
menggandalkan bakat.
Bakat hanyalah sebuah
penilaian, sedang penilaian hanyalah sebuah angka yang tak pasti, tergantung
dari sisi mana orang lain menilai, sedangkan usaha kerja keras adalah hal
pasti, dinamis, terus bergerak, meningkat dan berkembang, dalam kata lain kerja
keras adalah kemampuan yang melampaui bakat-bakat.
Hingga akhirnya waktu
yang di nanti telah tiba, aku pulang kampung! Aku tak mengabarkannya pada
irkab, bahkan aku sengaja tidak memberi tahu bahwa sekarang aku adalah bagian
dari dunia jurnalis.
Part
2
Saat ini Aku masih menganggap
jurnalis-jurnalis penjilat disini, tak
ubah seperti kaum kafir yahudi yang terus-menerus menciptakan logika palsu
untuk mengelabui psikologis masyarakat agar mereka tanpa sadar mengamini bahwa
majikanya bak malaikat suci yang tidak pernah salah.
Tunggu dulu! Ternyata
anggapan ku agak sedikit salah ! setelah bercerita panjang lebar dengan
pemimpin redaksi yang menerima ku sebagai wartawannya, lebih parah dari
anggapan ku, wartawan di sini kebanyakan bodong tidak bisa menulis berita, ada
yang bisa menulis berita tapi ..... “kau harus menghindari bergaul dengan
wartawan di sini, lebih baik sendirian saja atau buat kelompok mu lah”
nasehat bang reje pudung si pemimpin redaksi.
Sambil membuat kartu
sakti jurnalis ku bang reje pudung melanjutkan nasehatnya “ saya banyak menyimpan bukti
kasus penyelewangan, misi mu mantap, kau harus tetap hati-hati, jurnalis disini
kebanyakan gak bisa nulis tapi di gaji Rp.100.00 perminggu oleh pemda dan itu
bukan masalah besar. Hehe, ”.
Aku hanya
menganguk-anguk mendengar nasehatnya, Bang reje pudung juga menawarkan ku untuk
mendaftarkan diri ke pemda agar dapat gaji mingguan “ di, kau mau ku daftarkan ke
pemda? Ya walau pun bertolak belakang dengan misi mu, setidaknya kan lumayan
tambahan buat uang jajan”.
Aku menolak tawaran
bang reje pudung, bukannya munafik tapi ini masalah komitmen, lagi pula aku
jadi jurnalis bukan nyari duit, ada misi yang lebih berharga dari pada itu! “ gak
usah bg, seperti yang ku katakan kemarin, aku hanya ingin sahabat ku kembali ke
jalur yang benar”.
Sambil menyerahkan id
card ku, bang reje pudung menjawab komitmen ku “aku iri dengan semangat muda mu
di, tulisan mu lumayan mantap, buat sahabat mu tak berkutik, lakukan yang
terbaik, data-data kasus ini, ku serahkan pada mu, bongkar terus, ok”
“Insya Allah bg, aku
pamit dulu”, kata ku, “ok lah di, selamat bekerja”
sahut bang reje pudung.
Part
3
Kini langkah di mulai,
aku yang mengajak irkab menjadi wartawan dan aku pula yang harus bertanggung
jawab untuk menghentikan permainan api nya, tak peduli apakah yang akan pertama
terbakar! Yang pasti tangan irkab sudah melepuh karna terlalu memegang api
kebencian, aku harus mengobatinya.
Berhari-hari Aku
mencari tahu kesana-kemari untuk mengetahui kasus penyelewang apa saja yang
telah di lindungi pena irkab, “kejahatan yang terstruktur ini harus musnah”.
Banyak hal-hal yang tak pernah terpikirkan
oleh ku sebelumnya, laporan masyarakat membuat hati ku semakin dilema, bukan
wartawan saja premannya di sini tapi lembaga-lembaga swadaya masyarakat juga
tak ada bedanya dengan pengemis di jalanan yang selalu memeras orang-orang yang
berhenti di lampu merah untuk memberinya sedekah, “ya Tuhan, ini negeri apa?”
kata ku dalam hati.
Selain tak punya malu,
negeri ku ini juga sangat lucu, banyak dari kalangan jurnalis dan lsm dengan
bangganya menceritakan kisah bodohnya, bahwa dia pernah memeras si A dan Si B. “2
juta ku minta uang damai nya, kalau tak di kasih, ku bongkar semuanya. haha..hebat
kan?” kata salah satu kelompok jurnalis di warung kopi. Aku diam saja
mendengar celotehan tak bermutunya, masak bangga memeras orang lain, ini kan goblok,
“setan-setan”.
Part
4
Negeri ini telah
kehilangan sosok figur baik. Sementara tokoh-tokoh terlihat lesu nyaris tanpa
perlawanan, keadaan gawat dan mengenaskan memang sudah terjadi ; dimana negeri
ini sudah arah dalam menggarap fondasi nation chracter building yang
menghasilkan suburnya mentalitas interior/minder, pemalas, berfikir pintas,
pragmatis, pengecut, individualistis, khianat, hedonis, orang disini cenderung
memilih menjadi pengikut dari pada pemimpin, meski pun pemimpinya salah arah.
Satu-persatu
berita korupsi ku muncul ke permukaan, tak lain berita yang ku kirim kasus yang
di lindungi irkab, di media sosial berita ku jadi topik yang diperdebatkan para
nitizen. Irkab sangat terganggu dengan kondisi seperti ini, dia menghubungi ku
melalui via seluler.
“
posisi mu dimana sekarang di?” tanya irkab, “ di kampung” kata ku,
sontak irkab kaget mendengarnya “ sudah pulang rupanya kau? Kenapa gak di
kabarin?” aku pun ngeles “ kemarin buru-buru pulangnya, jadi gak
sempat ngabarin!”, irkab mengajak ku bertemu, aku pun mengabulkan
permintaannya, tapi pertemuan kami tepat di sungai pertama irkab membuat
komitmen menjadi wartawan.
Sore itu sangat cerah, deruan air sungai
mengalir apa adanya, aku menunggu kedatangan irkab, selang beberapa menit irkab
pun datang dengan kereta barunya, “ maju betul kau sekarang, sepertinya kau
baru cair?” kata ku basa-basi “hehe, aku ke sini mau ngasih peluang, biar
kau pun bisa membeli kereta seperti ini”, Kata irkab.
“Peluang
?” kata ku, “iya peluang, kau sekarang sudah jadi wartawan, aku sudah tau itu,”
kata irkab, irkab melanjutkan “ segalanya bisa terjadi disini di? Apa yang
kau inginkan sekarang? Asal kau mau berhenti menulis berita kasus, segalanya
bisa kau dapatkan!”
Sontak aku menghentikan tawaran busuk irkab “aku
menulis berita kasus itu, bukan berharap di beri hadiah, tapi aku menulis untuk
menyadarkan otak kotor mu” mata irkab memerah, keringatnya bercucuran,
aku melanjutkan kata-kata ku “dan ingat, sekarang kau telah kehilangan
harga diri” irkab memotong pembicaraan ku “ apa maksud mu? “
suara irkab mulai meninggi.
“harga
diri? Kau telah menyaksikan orang-orang disni telah mengakui keberadaan ku,
uang yang ku dapatkan adalah bukti bahwa keberadaan ku sebagai wartawan telah
di perhitungkan! Bukankah dulu aku telah mengatakan kepada mu, aku akan
membuktikan diri disini” aku juga memotong ucapan irkab “ya
pembuktian tapi bukan dengan cara menjual harga diri, kau bisa mendapatkan
nilai yang lebih tanpa harus menjadi penjilat, uang bukan segalanya”
Emosi irkab semakin meninggi mendengar ucapan ku,
dia menujuk-nunjuk ku dengan jari telunjuknya, dengan nada yang agak sedikir
rendah, irkab berkata “ kau boleh berkata seperti itu kawan! Uang
memang bukan segalanya Tapi ingat orang-orang disini tidak akan menghargai
keberadaan orang miskin”.
Irkab
telah salah memandang kehidupan, dia telah menciptakan kasta dalam dirinya “ kau
salah kab, kau telah salah kaprah, kau telah menjadikan penilaian manusia
sebagai tolak ukur kehidupan mu, sedangkan penilaian Tuhan kau abaikan, kau
lupa, kau lebih dihargai hidup apa adanya tapi jujur dari pada berpenampilan
kaya raya tapi merampas ” .
Irkab duduk diam dan
mulai menetaskan air mata, sepertinya ia mulai sadar bahwa selama ini telah
salah memandang harga diri dalam kehidupan, tidak ada yang melarang kita kaya
asal dengan cara yang benar. Aku melanjutkan nasehat ku “ kab, kaya bukan berarti suci,
miskin bukan terhina, luruskanlah semangat mu yang dulu, jadilah jurnalis yang
berpihak kepada kebenaran, harga dirimu terletak pada komitmen mu dalam menjaga
diri dari hal-hal yang tidak benar”.
Irkab masih diam,
kepalanya tertunduk lesu, aku mendekatinya dan melanjutkan pembicaraan ku “ kau
boleh tetap bekerja di media pemerintahan tapi tetaplah menulis objektif”,
irkab menoleh ku dan sambil menggeleng-geleng kepala, ia menjawab “itu
tidak mungkin di, sepertinya aku harus membuat keputusan baru, berhenti jadi
wartawan!”.
Aku tahu irkab sangat
tertekan dengan ucapan-ucapan ku tadi “tetaplah menjadi wartawan kab, kalau kau
merasa tidak bisa objektif di media itu, carilah media lain”. Irkab
diam saja, tatapan mata nya kosong, sekali lagi aku mengingatkan nya “ kau
tidak boleh begitu saja berhenti jadi wartawan, jangan karna ucapan ku tadi kau
malah putus asa, aku tidak mengajak mu berhenti, aku hanya meminta mu kembali
ke jalur yang benar itu saja”.
Irkab
tersenyum mendengar ucapan ku, sambil membuang kartu jurnalis milik media
pemerintah, ia berdiri dan berkata “terima kasih kawan telah mengingatkan ku,
sekarang aku sadar bahwa harga diri itu terletak pada keberanian kita mengambil
keputusan dalam bertindak benar, meskipun harus mengahadapi berbagai macam tantangan,
selama ini aku terlalu berfikir pintas, aku terbawa oleh suasana pujian yang
menghanyutkan, enyalah.”
Aku sangat bersemangat
mendengar ucapan irkab, irkab melanjutkan kata-katanya yang sangat diplomatis“lebih
dari itu kawan, kesadaran ku, mengingat ku akan masa lalu bahwa kita lahir dan
besar seperti ini karna kita dulu pernah di tindas, sekarang kita berdua harus
menghentikan penindasan ini.”
Aku menjawab “ betul, kita memang tidak layak
bergabung dengan manusia penindas”. Irkab tersenyum “
mari kita melangkah bersama di, bahu membahu membuat perbaikan demi perbaikan”.
Begitulah akhir dari
kesesatan irkab, sekarang dia bertaubat, bahkan hingga akhirnya irkab
mendirikan organisasi dimana eksistensinya sebagai wadah tempat pengaduan
masyarakat, dia juga mendirikan sebuah media yang sangat indevenden dan
berpihak kepada rakyat jelata. Sekian...
Note :
·
Cerita Ini hanyalah imajinatif (tidak nyata/asal-asal/tidak pernah terjadi)
·
tempat kejadian/nama daerah sengaja
tidak di cantumkan
·
irkab adalah kebalikan dari nama salah
satu sahabat saya, juga seorang jurnalis
·
mohon dikoreksi
DILARANG/MENCIPLAK/MENGAMBIL
TANPA SEPENGETAHUAN BLOG ABDI BIN KARIM
0 Response to "BAGIAN 2 CERPEN LASKAR TERTIMBUN (PUJIAN YANG MENGHANYUTKAN)"
Post a Comment
SILAHKAN share