BAGIAN 2 CERPEN LASKAR TERTIMBUN (PUJIAN YANG MENGHANYUTKAN)


Part 1
Setelah berminggu-minggu berkontemplasi, Akhirnya aku juga memilih menjadi wartawan. Ini bukan akhir dari persahabatan ku dengan irkab, tapi ini adalah salah satu cara yang tepat untuk menghentikannya menjadi seorang jurnalis pelacur.

Ada benarnya kata-kata orang bijak “ada yang membelai, agar membuat mu lalai dan ada yang menampar agar membuat sadar”, posisi ku sekarang untuk irkab, ada di sajak kalimat kedua, datang menamparnya agar dia cepat sadar.

Tidak ada seorang sahabat yang rela melihat sahabatnya sendiri, terjerumus ke lembah kenistaan. Begitu  pula dengan ku, irkab adalah seorang sahabat ku, tidak elok rasa hatiku membiarkannya begitu saja, berpantun bohong di media portal berita penjilat pemerintah.

 Setelah memilah beberapa hari portal berita yang cocok dengan misi ku, akhirnya aku menemukannya, aku melihat isi beritanya sangat objektif dan berani. Aku menawarkan diri sebagai jurnalis tetapnya. Sebagai persyaratan aku wajib mengirimkan beberapa tulisan ku. Tak di sangka pemimpin redaksinya menyambutku dengan hangat, dia menyuruh ku menemuinya “kalau sudah pulang kampung, jumpai saya”.

Sebelum pulang kampung, berminggu-minggu aku menyibukkan diri belajar membuat berita, opini dan mengamati tulisan jurnalis-jurnalis di sini. Demikianlah pola fikir ku, aku mesti kerja keras jika ingin pandai, aku tidak begitu peduli dengan penilaian dan bakat-bakat, yang aku tau usaha yang maksimal akan mendapatkan hasil yang maksimal pula.Aku lebih memilih menjadi kuda bajak “si pekerja keras” dari pada menggandalkan bakat. 

Bakat hanyalah sebuah penilaian, sedang penilaian hanyalah sebuah angka yang tak pasti, tergantung dari sisi mana orang lain menilai, sedangkan usaha kerja keras adalah hal pasti, dinamis, terus bergerak, meningkat dan berkembang, dalam kata lain kerja keras adalah kemampuan yang melampaui bakat-bakat.

Hingga akhirnya waktu yang di nanti telah tiba, aku pulang kampung! Aku tak mengabarkannya pada irkab, bahkan aku sengaja tidak memberi tahu bahwa sekarang aku adalah bagian dari dunia jurnalis.

Part 2
Saat ini Aku masih menganggap jurnalis-jurnalis  penjilat disini, tak ubah seperti kaum kafir yahudi yang terus-menerus menciptakan logika palsu untuk mengelabui psikologis masyarakat agar mereka tanpa sadar mengamini bahwa majikanya bak malaikat suci yang tidak pernah salah.

Tunggu dulu! Ternyata anggapan ku agak sedikit salah ! setelah bercerita panjang lebar dengan pemimpin redaksi yang menerima ku sebagai wartawannya, lebih parah dari anggapan ku, wartawan di sini kebanyakan bodong tidak bisa menulis berita, ada yang bisa menulis berita tapi ..... “kau harus menghindari bergaul dengan wartawan di sini, lebih baik sendirian saja atau buat kelompok mu lah” nasehat bang reje pudung si pemimpin redaksi.

Sambil membuat kartu sakti jurnalis ku bang reje pudung melanjutkan nasehatnya “ saya banyak menyimpan bukti kasus penyelewangan, misi mu mantap, kau harus tetap hati-hati, jurnalis disini kebanyakan gak bisa nulis tapi di gaji Rp.100.00 perminggu oleh pemda dan itu bukan masalah besar. Hehe, ”.

Aku hanya menganguk-anguk mendengar nasehatnya, Bang reje pudung juga menawarkan ku untuk mendaftarkan diri ke pemda agar dapat gaji mingguan “ di, kau mau ku daftarkan ke pemda? Ya walau pun bertolak belakang dengan misi mu, setidaknya kan lumayan tambahan buat uang jajan”.
Aku menolak tawaran bang reje pudung, bukannya munafik tapi ini masalah komitmen, lagi pula aku jadi jurnalis bukan nyari duit, ada misi yang lebih berharga dari pada itu! “ gak usah bg, seperti yang ku katakan kemarin, aku hanya ingin sahabat ku kembali ke jalur yang benar”.

Sambil menyerahkan id card ku, bang reje pudung menjawab komitmen ku “aku iri dengan semangat muda mu di, tulisan mu lumayan mantap, buat sahabat mu tak berkutik, lakukan yang terbaik, data-data kasus ini, ku serahkan pada mu, bongkar terus, ok”
“Insya Allah bg, aku pamit dulu”, kata ku, “ok lah di, selamat bekerja” sahut bang reje pudung.

Part 3
Kini langkah di mulai, aku yang mengajak irkab menjadi wartawan dan aku pula yang harus bertanggung jawab untuk menghentikan permainan api nya, tak peduli apakah yang akan pertama terbakar! Yang pasti tangan irkab sudah melepuh karna terlalu memegang api kebencian, aku harus mengobatinya.

Berhari-hari Aku mencari tahu kesana-kemari untuk mengetahui kasus penyelewang apa saja yang telah di lindungi pena irkab, “kejahatan yang terstruktur ini harus musnah”.
 Banyak hal-hal yang tak pernah terpikirkan oleh ku sebelumnya, laporan masyarakat membuat hati ku semakin dilema, bukan wartawan saja premannya di sini tapi lembaga-lembaga swadaya masyarakat juga tak ada bedanya dengan pengemis di jalanan yang selalu memeras orang-orang yang berhenti di lampu merah untuk memberinya sedekah, “ya Tuhan, ini negeri apa?” kata ku dalam hati.

Selain tak punya malu, negeri ku ini juga sangat lucu, banyak dari kalangan jurnalis dan lsm dengan bangganya menceritakan kisah bodohnya, bahwa dia pernah memeras si A dan Si B. “2 juta ku minta uang damai nya, kalau tak di kasih, ku bongkar semuanya. haha..hebat kan?” kata salah satu kelompok jurnalis di warung kopi. Aku diam saja mendengar celotehan tak bermutunya, masak bangga memeras orang lain, ini kan goblok, “setan-setan”.

Part 4
Negeri ini telah kehilangan sosok figur baik. Sementara tokoh-tokoh terlihat lesu nyaris tanpa perlawanan, keadaan gawat dan mengenaskan memang sudah terjadi ; dimana negeri ini sudah arah dalam menggarap fondasi nation chracter building yang menghasilkan suburnya mentalitas interior/minder, pemalas, berfikir pintas, pragmatis, pengecut, individualistis, khianat, hedonis, orang disini cenderung memilih menjadi pengikut dari pada pemimpin, meski pun pemimpinya salah arah.

            Satu-persatu berita korupsi ku muncul ke permukaan, tak lain berita yang ku kirim kasus yang di lindungi irkab, di media sosial berita ku jadi topik yang diperdebatkan para nitizen. Irkab sangat terganggu dengan kondisi seperti ini, dia menghubungi ku melalui via seluler.

            “ posisi mu dimana sekarang di?” tanya irkab, “ di kampung” kata ku, sontak irkab kaget mendengarnya “ sudah pulang rupanya kau? Kenapa gak di kabarin?” aku pun ngeles “ kemarin buru-buru pulangnya, jadi gak sempat ngabarin!”, irkab mengajak ku bertemu, aku pun mengabulkan permintaannya, tapi pertemuan kami tepat di sungai pertama irkab membuat komitmen menjadi wartawan.

             Sore itu sangat cerah, deruan air sungai mengalir apa adanya, aku menunggu kedatangan irkab, selang beberapa menit irkab pun datang dengan kereta barunya, “ maju betul kau sekarang, sepertinya kau baru cair?” kata ku basa-basi “hehe, aku ke sini mau ngasih peluang, biar kau pun bisa membeli kereta seperti ini”, Kata irkab.

            “Peluang ?” kata ku, “iya peluang, kau sekarang sudah jadi wartawan, aku sudah tau itu,” kata irkab, irkab melanjutkan “ segalanya bisa terjadi disini di? Apa yang kau inginkan sekarang? Asal kau mau berhenti menulis berita kasus, segalanya bisa kau dapatkan!”

              Sontak aku menghentikan tawaran busuk irkab “aku menulis berita kasus itu, bukan berharap di beri hadiah, tapi aku menulis untuk menyadarkan otak kotor mu” mata irkab memerah, keringatnya bercucuran, aku melanjutkan kata-kata ku “dan ingat, sekarang kau telah kehilangan harga diri” irkab memotong pembicaraan ku “ apa maksud mu? “ suara irkab mulai meninggi.

            “harga diri? Kau telah menyaksikan orang-orang disni telah mengakui keberadaan ku, uang yang ku dapatkan adalah bukti bahwa keberadaan ku sebagai wartawan telah di perhitungkan! Bukankah dulu aku telah mengatakan kepada mu, aku akan membuktikan diri disini” aku juga memotong ucapan irkab “ya pembuktian tapi bukan dengan cara menjual harga diri, kau bisa mendapatkan nilai yang lebih tanpa harus menjadi penjilat, uang bukan segalanya”

Emosi irkab semakin meninggi mendengar ucapan ku, dia menujuk-nunjuk ku dengan jari telunjuknya, dengan nada yang agak sedikir rendah, irkab berkata “ kau boleh berkata seperti itu kawan! Uang memang bukan segalanya Tapi ingat orang-orang disini tidak akan menghargai keberadaan orang miskin”.

            Irkab telah salah memandang kehidupan, dia telah menciptakan kasta dalam dirinya “ kau salah kab, kau telah salah kaprah, kau telah menjadikan penilaian manusia sebagai tolak ukur kehidupan mu, sedangkan penilaian Tuhan kau abaikan, kau lupa, kau lebih dihargai hidup apa adanya tapi jujur dari pada berpenampilan kaya raya tapi merampas ” .

Irkab duduk diam dan mulai menetaskan air mata, sepertinya ia mulai sadar bahwa selama ini telah salah memandang harga diri dalam kehidupan, tidak ada yang melarang kita kaya asal dengan cara yang benar. Aku melanjutkan nasehat ku “ kab, kaya bukan berarti suci, miskin bukan terhina, luruskanlah semangat mu yang dulu, jadilah jurnalis yang berpihak kepada kebenaran, harga dirimu terletak pada komitmen mu dalam menjaga diri dari hal-hal yang tidak benar”.

Irkab masih diam, kepalanya tertunduk lesu, aku mendekatinya dan melanjutkan pembicaraan ku “ kau boleh tetap bekerja di media pemerintahan tapi tetaplah menulis objektif”, irkab menoleh ku dan sambil menggeleng-geleng kepala, ia menjawab “itu tidak mungkin di, sepertinya aku harus membuat keputusan baru, berhenti jadi wartawan!”.

Aku tahu irkab sangat tertekan dengan ucapan-ucapan ku tadi “tetaplah menjadi wartawan kab, kalau kau merasa tidak bisa objektif di media itu, carilah media lain”. Irkab diam saja, tatapan mata nya kosong, sekali lagi aku mengingatkan nya “ kau tidak boleh begitu saja berhenti jadi wartawan, jangan karna ucapan ku tadi kau malah putus asa, aku tidak mengajak mu berhenti, aku hanya meminta mu kembali ke jalur yang benar itu saja”.

    Irkab tersenyum mendengar ucapan ku, sambil membuang kartu jurnalis milik media pemerintah, ia berdiri dan berkata “terima kasih kawan telah mengingatkan ku, sekarang aku sadar bahwa harga diri itu terletak pada keberanian kita mengambil keputusan dalam bertindak benar, meskipun harus mengahadapi berbagai macam tantangan, selama ini aku terlalu berfikir pintas, aku terbawa oleh suasana pujian yang menghanyutkan, enyalah.”

Aku sangat bersemangat mendengar ucapan irkab, irkab melanjutkan kata-katanya yang sangat diplomatis“lebih dari itu kawan, kesadaran ku, mengingat ku akan masa lalu bahwa kita lahir dan besar seperti ini karna kita dulu pernah di tindas, sekarang kita berdua harus menghentikan penindasan ini.”

  Aku menjawab “ betul, kita memang tidak layak bergabung dengan manusia penindas”. Irkab tersenyum “ mari kita melangkah bersama di, bahu membahu membuat perbaikan demi perbaikan”.

Begitulah akhir dari kesesatan irkab, sekarang dia bertaubat, bahkan hingga akhirnya irkab mendirikan organisasi dimana eksistensinya sebagai wadah tempat pengaduan masyarakat, dia juga mendirikan sebuah media yang sangat indevenden dan berpihak kepada rakyat jelata. Sekian...

Note :
·         Cerita Ini hanyalah imajinatif (tidak nyata/asal-asal/tidak pernah terjadi)   
·         tempat kejadian/nama daerah sengaja tidak di cantumkan
·         irkab adalah kebalikan dari nama salah satu sahabat saya, juga seorang jurnalis
·         mohon dikoreksi

  DILARANG/MENCIPLAK/MENGAMBIL TANPA SEPENGETAHUAN BLOG ABDI BIN KARIM

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

0 Response to "BAGIAN 2 CERPEN LASKAR TERTIMBUN (PUJIAN YANG MENGHANYUTKAN)"

Post a Comment

SILAHKAN share