Part
1
Aku menjauh dari pasir itu,
berjalan mundur beberapa langkah dengan wajah tengadah, seraya mengatupkan
kedua tangan agar membentuk corong di sekitar mulut, aku berteriak
sekeras-kerasnya,: “Kenapa harus
pilih kasih, semua orang berhak memilih”
Tidak ada yang mendengar seberapa pun kerasnya
suaraku, sungai itu sepi, tapi tak ada bedanya dengan negeriku ini, seberapa
keras pun saya meminta keadilan tetap saja tidak akan digubris, mereka tuli
,pengecut dan mati rasa.
Irkab sahabat ku, bukanlah
satu-satunya korban politik belah bambu dikabupaten ini, masih banyak lagi. Dia
orang sopan santun, tak tau apa-apa. Hanya karna sepupunya tim sukses salah
satu kandidat yang kalah, malah dia dipecat tanpa alasan dari pekerjaannya
sebagai guru honorer, enyahlah.
Aku mulai mendekati irkab yang masih
merenung di tepi sungai, aku memberi saran ke irkab “ kab, aku punya akal, kita
laporkan masalah mu ke wartawan disini, biar kapok pemimpin kita ini”,
dengan wajah lesu irkab menjawab “ buat apa di, gak bakalan di naikan
beritanya, semuanya bisa dikondisikan”, aku mencoba meyakinnya lagi “
yah, kita coba-coba aja dulu, aku yang ngatur?”
Tanpa menjawab apa-apa, irkab hanya
menggeleng-geleng kepala, lalu menggangkat kakinya, pergi dengan penuh
keputusasaan, “kau mau kemana?, aku belum selesai ngomong” tanya ku, “kita
balik” pungkasnya, “kalau kau takut, aku bisa mengurusnya!
Kalau tidak kau saja yang menjadi wartawan, lalu hajar petinggi-petinggi negeri
ini, buktikan kepada mereka bahwa mereka telah salah menganiayai seseorang
sepertimu.”, irkab diam sejenak, dia seperti sedang berfikir, lalu dia
mendekati dan bertanya “ apa aku punya bakat jadi wartawan?”
Dengan spontan aku jawab “tentu,
bukankah kau suka menulis puisi dan cerpen?, ya setidaknya kau sedikit belajar
bagaimana membuat tulisan bersifat informasi”, irkab mulai
mengayun-ayun kepalanya, sepertinya dia mulai sadar bahwa setiap masalah ada
jalan keluarnya.
“tapi di, bagaimana caranya daftar jadi
wartawan?” penuh kebingunan irkab kembali bertanya. Aku diam sejenak,
suasana mulai hening, irkab menunggu jawaban dari ku. “ok, begini saja, kau cari
wartwan disini, lalu tanya sama dia bagaimana caranya menjadi wartawan,
selesai”, irkab tambah bingung mendengar jawaban ku, dia kembali
bertanya “ siapa wartawannya, di?”, dengan spontan aku jawab “ itu
pekara mudah, tidak usah bingung, sekarang kau siapkan metal mu, jadilah calon
wartawan yang baik, buktikan bahwa kau hebat, ok”
Irkab sangat bersemangat mendengar ucapanku,
raut wajahnya yang tadi pucat pasih berubah menjadi merah membara, “siap,
akan aku buktikan, mereka akan ku buat menyesal karna telah memecat ku”. Aku senang mendengar ucapannya,
akhirnya ucapan tanpa sengaja ku jadi solusi yang amat berarti bagi irkab, “wartawan?,
hahaha” kami pun pulang ke rumah masing-masing.
Part
2
Dendam bukanlah hal yang di perkenankan dalam kehidupan namun setidaknya
memberi pelajaran kepada orang yang suka menindas tidaklah masalah. Satu hal
yang paling aku kawatirkan ketika irkab menjadi wartawan, aku takut dia terbawa
arus sungai kebodohan, menjadi budak para cukong koruptor, tapi mungkin ini
hanyalah illusi ku saja. irkab mustahil demikian, secara dia menyimpan dendam
terhadap pencuri berdasi itu.
* Hingga akhirnya selang beberapa minggu irkab tidak hanya mendapatkan
informasi tentang wartawan, puncuk di cinta, ulang pun tiba,
irkab juga mendapatkan mentor seorang jurnalis senior, pak tua namanya, ia
bersedia memberikan fasilitas koran cetak mingguan sebagai wadah mengembangkan
tulisannya.
Tapi sayang aku tak dapat menemaninya proses pembelajarannya irkab
sebagai calon jurnalis, aku harus balik ke kota metropolitan untuk melanjutkan
kelas semester ku.
Masa-masa aku di tempat perkuliahan irkab sering memberi kabar kepadaku
masalah perkembangannya,isu sosial dan politik dinegeri sejuta tusam itu. Di media sosial irkab juga kerab kali
mempublikasikan poto tulisannya, banyak komentar pujian yang didapatkan irkab
dari netizen, aku juga termasuk kagum dengan gaya tulisannya yang amat tajam
dan berlogika.
Dokumentasi potonya saat proses
wawancara dengan bapak-bapak pejabat selalu DI bumbui dengan postingan “lagi wawancara” sambutan hangat dari
para netizen membuatnya semakin giat mengirim berbagai macam postingan dimedia
sosial, setiap hari aku memantau statusnya di media sosial.
Irkab yang dulunya bukan
siapa-siapa, kini telah berubah menjadi harimau maha menakutkan bagi
petinggi-petinggi dinegeri ini, aku selalu menasetinya melalu inbok “
irkab kamu sekarang sudah di perhitungkan, jangan mau di ajak kompromi,alias
diberi amplop hehe” sapa ku sambil bercanda, dengan singkat irkab
menjawab “objektif di, haram”
Aku tahu irkab sebenarnya sedang menyembunyikan sesuatu kepada ku,
tetapi aku selalu berusaha memandangnya secara objektif, dia kini telah bekerja
sama dengan portal berita online yang dimiliki oleh intansi pemerintah. Aku
berfikir positif saja, mungkin jasa nya sebagai penulis sangat di butuhkan oleh
pemerintah, “semoga irkab tidak lupa diri”, bisik ku dalam hati.
Part 3
Lama kelamaan aku mulai menaruh curiga ke irkab, dari sikap nya yang
mulai dingin ketika menghadapi isu-isu miring yang menimpa pemerintah, seperti
kasus perselingkuhan, hukum semberaut, korupsi dan masih banyak lagi.
Aku juga kaget ketika irkab menawarkan aku beberapa lembar rupiah
,melalu telepon genggam aku bertanya kenapa dia dingin, “irkab, koq dingin kali, apa
pulpen mu patah, pemimpin kita selingkuh, korupsi, hukum tidak adail?”
tak ada hujan, tak ada angin, irkab tiba-tiba menawarkan uang kepada ku “
alah, kirim kan rekening mu sini” aku benar kaget mendengar jawabannya “lo,
untuk apa?”.
Spontan Irkab menjawab “mau
duit gk? Kirimkan aja terus di, ada rezeki ni?”, rezeki? Darimana?
Untuk apa? Ini memang tanggal tua, tapi ... “tunggu dulu, kenapa tiba-tiba
menawarkan uang, aku kan Cuma bertanya, kenapa” irkab langsung
memontong pertanyaan ku, dia ngeles “itu tidak penting sob, kita harus berbagi
dalam suka dan duka, sekarang aku sedang suka, jadi aku wajib berbagi untuk mu,
ok? Jadi jangan banyak bertanya, kirimkan rekening mu, jam 2 langsung cek, aku
lagi sibuk, ok wasalam”.
Apa-apaan ini, langsung di matikan, aku masih bingung, jangan-jangan
keberadaan irkab sudah bisa di kondisikan, ini sudah tidak benar. Aku langsung
menghubunginya lagi, tapi sayang irkab tidak mau menjawab telpon ku, dia hanya
mengirim sms, “di aku lagi sibuk, kirim terus rekening mu”.
Sekarang aku sadar, irkab bukan
lagi laskar yang aku banggakan, sekarang dia hanyalah laskar yang tertimbun,
mata nya telah di gelapkan oleh pujian menghanyutkan, dia lupa bahwa
pembuktiaan harusnya didasari kemauan untuk terus berbuat benar, kini
pembuktiaan irkab hanya di dasari untuk mendapatkan pujian, pujian yang tidak
penting, pujian telah menghanyutkan idealismenya ke jurang kemunafikan.
Aku harus melakukan sesuatu, ya
aku harus melakukan sesuatu untuk menghalangi jalannya irkab menjadi jurnalis
pelacur. Bersambung ke (laskar tertimbun_konflik penyadaran irkab)
BAB 2
Part 1
Setelah berminggu-minggu
berkontemplasi, Akhirnya aku juga memilih menjadi wartawan. Ini bukan akhir
dari persahabatan ku dengan irkab, tapi ini adalah salah satu cara yang tepat
untuk menghentikannya menjadi seorang jurnalis pelacur.
Ada benarnya kata-kata
orang bijak “ada yang membelai, agar
membuat mu lalai dan ada yang menampar agar membuat sadar”, posisi ku
sekarang untuk irkab, ada di sajak kalimat kedua, datang menamparnya agar dia
cepat sadar.
Tidak ada seorang
sahabat yang rela melihat sahabatnya sendiri, terjerumus ke lembah kenistaan.
Begitu pula dengan ku, irkab adalah
seorang sahabat ku, tidak elok rasa hatiku membiarkannya begitu saja, berpantun
bohong di media portal berita penjilat pemerintah.
Setelah memilah beberapa hari portal berita
yang cocok dengan misi ku, akhirnya aku menemukannya, aku melihat isi beritanya
sangat objektif dan berani. Aku menawarkan diri sebagai jurnalis tetapnya.
Sebagai persyaratan aku wajib mengirimkan beberapa tulisan ku. Tak di sangka
pemimpin redaksinya menyambutku dengan hangat, dia menyuruh ku menemuinya “kalau
sudah pulang kampung, jumpai saya”.
Sebelum pulang kampung,
berminggu-minggu aku menyibukkan diri belajar membuat berita, opini dan
mengamati tulisan jurnalis-jurnalis di sini. Demikianlah pola fikir ku, aku
mesti kerja keras jika ingin pandai, aku tidak begitu peduli dengan penilaian
dan bakat-bakat, yang aku tau usaha yang maksimal akan mendapatkan hasil yang
maksimal pula.Aku lebih memilih menjadi kuda bajak “si pekerja keras” dari pada
menggandalkan bakat.
Bakat hanyalah sebuah
penilaian, sedang penilaian hanyalah sebuah angka yang tak pasti, tergantung
dari sisi mana orang lain menilai, sedangkan usaha kerja keras adalah hal
pasti, dinamis, terus bergerak, meningkat dan berkembang, dalam kata lain kerja
keras adalah kemampuan yang melampaui bakat-bakat.
Hingga akhirnya waktu
yang di nanti telah tiba, aku pulang kampung! Aku tak mengabarkannya pada
irkab, bahkan aku sengaja tidak memberi tahu bahwa sekarang aku adalah bagian
dari dunia jurnalis.
Part
2
Saat ini Aku masih
menganggap jurnalis-jurnalis penjilat
disini, tak ubah seperti kaum kafir yahudi yang terus-menerus menciptakan
logika palsu untuk mengelabui psikologis masyarakat agar mereka tanpa sadar
mengamini bahwa majikanya bak malaikat suci yang tidak pernah salah.
Tunggu dulu! Ternyata
anggapan ku agak sedikit salah ! setelah bercerita panjang lebar dengan
pemimpin redaksi yang menerima ku sebagai wartawannya, lebih parah dari
anggapan ku, wartawan di sini kebanyakan bodong tidak bisa menulis berita, ada
yang bisa menulis berita tapi ..... “kau harus menghindari bergaul dengan
wartawan di sini, lebih baik sendirian saja atau buat kelompok mu lah”
nasehat bang reje pudung si pemimpin redaksi.
Sambil membuat kartu
sakti jurnalis ku bang reje pudung melanjutkan nasehatnya “ saya banyak menyimpan bukti
kasus penyelewangan, misi mu mantap, kau harus tetap hati-hati, jurnalis disini
kebanyakan gak bisa nulis tapi di gaji Rp.100.00 perminggu oleh pemda dan itu
bukan masalah besar. Hehe, ”.
Aku hanya
menganguk-anguk mendengar nasehatnya, Bang reje pudung juga menawarkan ku untuk
mendaftarkan diri ke pemda agar dapat gaji mingguan “ di, kau mau ku daftarkan ke
pemda? Ya walau pun bertolak belakang dengan misi mu, setidaknya kan lumayan
tambahan buat uang jajan”.
Aku menolak tawaran
bang reje pudung, bukannya munafik tapi ini masalah komitmen, lagi pula aku
jadi jurnalis bukan nyari duit, ada misi yang lebih berharga dari pada itu! “ gak
usah bg, seperti yang ku katakan kemarin, aku hanya ingin sahabat ku kembali ke
jalur yang benar”.
Sambil menyerahkan id
card ku, bang reje pudung menjawab komitmen ku “aku iri dengan semangat muda mu
di, tulisan mu lumayan mantap, buat sahabat mu tak berkutik, lakukan yang
terbaik, data-data kasus ini, ku serahkan pada mu, bongkar terus, ok”
“Insya Allah bg, aku
pamit dulu”, kata ku, “ok lah di, selamat bekerja”
sahut bang reje pudung.
Part
3
Kini langkah di mulai,
aku yang mengajak irkab menjadi wartawan dan aku pula yang harus bertanggung
jawab untuk menghentikan permainan api nya, tak peduli apakah yang akan pertama
terbakar! Yang pasti tangan irkab sudah melepuh karna terlalu memegang api
kebencian, aku harus mengobatinya.
Berhari-hari Aku
mencari tahu kesana-kemari untuk mengetahui kasus penyelewang apa saja yang
telah di lindungi pena irkab, “kejahatan yang terstruktur ini harus musnah”.
Banyak hal-hal yang tak pernah terpikirkan
oleh ku sebelumnya, laporan masyarakat membuat hati ku semakin dilema, bukan
wartawan saja premannya di sini tapi lembaga-lembaga swadaya masyarakat juga
tak ada bedanya dengan pengemis di jalanan yang selalu memeras orang-orang yang
berhenti di lampu merah untuk memberinya sedekah, “ya Tuhan, ini negeri apa?”
kata ku dalam hati.
Selain tak punya malu,
negeri ku ini juga sangat lucu, banyak dari kalangan jurnalis dan lsm dengan
bangganya menceritakan kisah bodohnya, bahwa dia pernah memeras si A dan Si B. “2
juta ku minta uang damai nya, kalau tak di kasih, ku bongkar semuanya.
haha..hebat kan?” kata salah satu kelompok jurnalis di warung kopi. Aku
diam saja mendengar celotehan tak bermutunya, masak bangga memeras orang lain,
ini kan goblok, “setan-setan”.
Part
4
Negeri ini telah
kehilangan sosok figur baik. Sementara tokoh-tokoh terlihat lesu nyaris tanpa
perlawanan, keadaan gawat dan mengenaskan memang sudah terjadi ; dimana negeri
ini sudah arah dalam menggarap fondasi nation chracter building yang
menghasilkan suburnya mentalitas interior/minder, pemalas, berfikir pintas,
pragmatis, pengecut, individualistis, khianat, hedonis, orang disini cenderung
memilih menjadi pengikut dari pada pemimpin, meski pun pemimpinya salah arah.
Satu-persatu
berita korupsi ku muncul ke permukaan, tak lain berita yang ku kirim kasus yang
di lindungi irkab, di media sosial berita ku jadi topik yang diperdebatkan para
nitizen. Irkab sangat terganggu dengan kondisi seperti ini, dia menghubungi ku
melalui via seluler.
“
posisi mu dimana sekarang di?” tanya irkab, “ di kampung” kata ku, sontak irkab
kaget mendengarnya “ sudah pulang rupanya kau? Kenapa gak di kabarin?” aku pun
ngeles “ kemarin buru-buru pulangnya, jadi gak sempat ngabarin!”, irkab
mengajak ku bertemu, aku pun mengabulkan permintaannya, tapi pertemuan kami
tepat di sungai pertama irkab membuat komitmen menjadi wartawan.
Sore itu sangat cerah, deruan air sungai
mengalir apa adanya, aku menunggu kedatangan irkab, selang beberapa menit irkab
pun datang dengan kereta barunya, “ maju betul kau sekarang, sepertinya kau
baru cair?” kata ku basa-basi “hehe, aku ke sini mau ngasih peluang, biar kau
pun bisa membeli kereta seperti ini”.
“Peluang
?” kata ku, “iya peluang, kau sekarang sudah jadi wartawan, aku sudah tau itu,”
kata irkab, irkab melanjutkan “ segalanya bisa terjadi disini di? Apa yang kau
inginkan sekarang? Asal kau mau berhenti menulis berita kasus, segalanya bisa
kau dapatkan!”
Sontak aku menghentikan tawaran busuk irkab
“aku menulis berita kasus itu, bukan berharap di beri hadiah, tapi aku menulis
untuk menyadarkan otak kotor mu” mata irkab memerah, keringatnya bercucuran,
aku melanjutkan kata-kata ku “dan ingat, sekarang kau telah kehilangan harga
diri” irkab memotong pembicaraan ku “ apa maksud mu? “ suara irkab mulai
meninggi.
“harga
diri? Kau telah menyaksikan orang-orang disni telah mengakui keberadaan ku,
uang yang ku dapatkan adalah bukti bahwa keberadaan ku sebagai wartawan telah
di perhitungkan! Bukankah dulu aku telah mengatakan kepada mu, aku akan
membuktikan diri disini” aku juga memotong ucapan irkab “ya pembuktian tapi
bukan dengan cara menjual harga diri, kau bisa mendapatkan nilai yang lebih
tanpa harus menjadi penjilat, uang bukan segalanya”
Emosi irkab semakin meninggi mendengar ucapan ku,
dia menujuk-nunjuk ku dengan jari telunjuknya, dengan nada yang agak sedikir
rendah, irkab berkata “ kau boleh berkata seperti itu kawan! Uang memang bukan
segalanya Tapi ingat orang-orang disini tidak akan menghargai keberadaan orang
miskin”.
Irkab
telah salah memandang kehidupan, dia telah menciptakan kasta dalam dirinya “
kau salah kab, kau telah salah kaprah, kau telah menjadikan penilaian manusia
sebagai tolak ukur kehidupan mu, sedangkan penilaian Tuhan kau abaikan, kau
lupa, kau lebih dihargai hidup apa adanya tapi jujur dari pada berpenampilan
kaya raya tapi merampas ”
Irkab duduk diam dan
mulai menetaskan air mata, sepertinya ia mulai sadar bahwa selama ini telah
salah memandang harga diri dalam kehidupan, tidak ada yang melarang kita kaya
asal dengan cara yang benar. Aku melanjutkan nasehat ku “ kab, kaya bukan
berarti suci, miskin bukan terhina, luruskanlah semangat mu yang dulu, jadilah
jurnalis yang berpihak kepada kebenaran, harga dirimu terletak pada komitmen mu
dalam menjaga diri dari hal-hal yang tidak benar”.
Irkab masih diam,
kepalanya tertunduk lesu, aku mendekatinya dan melanjutkan pembicaraan ku “ kau
boleh tetap bekerja di media pemerintahan tapi tetaplah menulis objektif”,
irkab menoleh ku dan sambil menggeleng-geleng kepala, ia menjawab “itu tidak
mungkin di, sepertinya aku harus membuat keputusan baru, berhenti jadi
wartawan!”.
Aku tahu irkab sangat
tertekan dengan ucapan-ucapan ku tadi “tetaplah menjadi wartawan kab, kalau kau
merasa tidak bisa objektif di media itu, carilah media lain”. Irkab diam saja,
tatapan mata nya kosong, sekali lagi aku mengingatkan nya “ kau tidak boleh
begitu saja berhenti jadi wartawan, jangan karna ucapan ku tadi kau malah putus
asa, aku tidak mengajak mu berhenti, aku hanya meminta mu kembali ke jalur yang
benar itu saja”
Irkab tersenyum mendengar ucapan ku, sambil
membuang kartu jurnalis milik media pemerintah, ia berkata “terima kasih kawan
telah mengingatkan ku, sekarang aku sadar bahwa harga diri itu terletak pada
keberanian kita mengambil keputusan dalam bertindak benar, meskipun harus
mengahadapi berbagai macam tantangan, selama ini aku terlalu berfikir pintas,
aku terbawa oleh suasana pujian yang menghanyutkan, enyalah.”
Aku sangat bersemangat
mendengar ucapan irkab, irkab melanjutkan “lebih dari itu kawan, kesadaran ku,
mengingat ku akan masa lalu bahwa kita lahir dan besar seperti ini karna kita
dulu pernah di tindas, sekarang kita berdua harus menghentikan penindasan ini.”
Aku menjawab “ betul, kita memang tidak layak
bergabung dengan manusia penindas”. Irkab tersenyum “ mari kita melangkah
bersama di, bahu membahu membuat perbaikan demi perbaikan”.
Begitulah akhir dari
kesesatan irkab, sekarang dia bertaubat, bahkan hingga akhirnya irkab
mendirikan organisasi dimana eksistensinya sebagai wadah tempat pengaduan
masyarakat, dia juga mendirikan sebuah media yang sangat indevenden dan
berpihak kepada rakyat jelata. Sekian...
Note :
·
Cerita Ini hanyalah imajinatif (tidak nyata/asal-asal/tidak pernah terjadi)
·
tempat kejadian/nama daerah sengaja
tidak di cantumkan
·
irkab adalah kebalikan dari nama salah
satu sahabat saya, juga seorang jurnalis
·
mohon dikoreksi
DILARANG/MENCIPLAK/MENGAMBIL
TANPA SEPENGETAHUAN BLOG ABDI BIN KARIM
0 Response to "LENGKAP CERPEN LASKAR TERTIMBUN (PUJIAN YANG MENGHANYUTKAN) "
Post a Comment
SILAHKAN share