Jika kebenaran sudah di anggap sesuatu yang tabu,menghina
dan tak beradab apa lah yang hendak di kata, saya masih teringat cerita ulama besar yang berasal
dari India, zakir naik. Saat mengadakan acara seminar tanya jawab masalah
perbandingan Agama, salah seorang non muslim bertanya kepada kepada Zakir naik "Kenapa Anda Suka Sekali Menghina
Kristen?"
Zakir Naik menjawab :
Haram bagi seorang muslim untuk menghina atau merendahkan Non Muslim,
Allah Ta'ala berfirman,
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan ...." [Al-An'am 108]
Penanya : "Tapi kenapa anda suka sekali membuktikan kesalahan Bible?"
Zakir Naik : "Saya tidak menghina, saya membuktikan kesalahan Bible, menyampaikan kebenaran bukan berarti menghina"
Kemudian, Dr. Zakir Naik bertanya kepada orang tersebut, "2+2=5, benar atau salah?"
Orang tersebut menjawab, "Salah!"
Dr. Zakir Naik, "Kenapa anda katakan salah, anda menghina saya ya??"
Orang itu menjelaskan, "No sir! saya tidak menghina anda, saya hanya mengatakan bahwa 2+2=5 itu salah, yang benar 2+2=4"
Dr. Zakir Naik menjawab, "Nah... seperti itulah yang saya lakukan, saya tidak menghina kristen, saya hanya mengatakan dan membuktikan bahwa bible itu adalah kitab yang salah".
Begitulah
yang kami rasakan bersama kawan-kawan, ketika kami mau mempublis dan
membuktikan kesalahan dengan data dan fakta malah kami dianggap tak beradab,
tak paham demokrasi dan pandai membaca situasi.
Padahal sejatinya kebenaran itu harus diungkapkan, tak
peduli dimana tempatnya, siapa pelakunya, bagaimana pun situasi. Batas adab
berbicara itu ada di data dan fakta, tanpa data dan fakta argumentasi itu omong
kosong.
Membela yang salah bukanlah didikan yang patut di contoh,
ingat pesan Nabi Muhammad
إِلَى مَنْ هُوَ دُونِى وَلاَ أَنْظُرَ إِلَى
مَنْ هُوَ فَوْقِى وَأَمَرَنِى أَنْ أَصِلَ الرَّحِمَ وَإِنْ أَدْبَرَتْ
وَأَمَرَنِى أَنْ لاَ أَسْأَلَ أَحَداً شَيْئاً وَأَمَرَنِى أَنْ أَقُولَ
بِالْحَقِّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا وَأَمَرَنِى أَنْ لاَ أَخَافَ فِى اللَّهِ
لَوْمَةَ لاَئِمٍ وَأَمَرَنِى أَنْ أُكْثِرَ مِنْ قَوْلِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ
إِلاَّ بِاللَّهِ فَإِنَّهُنَّ مِنْ كَنْزٍ تَحْتَ الْعَرْشِ
Dari Abu Dzaar, ia berkata, “Kekasihku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan tujuh hal padaku: (1) mencintai orang
miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintah agar melihat pada orang
di bawahku (dalam hal harta) dan janganlah lihat pada orang yang berada di
atasku, (3) beliau memerintahkan padaku untuk menyambung tali silaturahim
(hubungan kerabat) walau kerabat tersebut bersikap kasar, (4) beliau
memerintahkan padaku agar tidak meminta-minta pada seorang pun, (5) beliau memerintahkan untuk mengatakan yang benar walau itu pahit, (6) beliau memerintahkan padaku agar tidak takut
terhadap celaan saat berdakwa di jalan Allah, (7) beliau memerintahkan agar
memperbanyak ucapan “laa hawla wa laa quwwata illa billah” (tidak ada daya dan
upaya kecuali dengan pertolongan Allah), karena kalimat tersebut termasuk
simpanan di bawah ‘Arsy.” (HR. Ahmad 5: 159. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa
hadits ini shahih,
namun sanad hadits ini hasan karena adanya Salaam Abul Mundzir).
0 Response to "Cerita ku malam itu: Katakan yang benar walau itu pahit"
Post a Comment
SILAHKAN share