Naas
betul nasib si otong, terusir dari negeri sendiri. Kontribusinya sebagai
pendukung salah satu kandidat yang kalah
menjadi boomerang untuk masa depan pekerjaanya, dalam jangka waktu 5 tahun. Aku
sendiri menyaksikan bagaimana geramnya pemimpin yang menang terhadap dirinya,
sampai-sampai otong diusir ketepi hutan
sebagai pj kepala sekolah dasar.
Pengabdian otong selama ini sebagai pendidik
sudah tak nampak lagi, memang di sisi lain otong salah karna ikut andil sebagai
pendukung kandidat, padahal dia pegawai negeri sipil, tapi apalah mau di kata
nasi sudah menajdi bubur, nikmati saja.
Tapi,
di sisi lain dalam kesalahan otong, ada juga benarnya, bagaimana tidak, hampir
mayoritas pegawai negeri sipil waktu itu ikut andil sebagai tim sukses. Lantas
siapa yang salah, jelas calon-calon pemimpin inilah yang memiliki pengaruh
besar dalam membuat kesalahan fatal ini.
Lain
cerita dengan calon kalah yang di dukung otong, dulu berjuang bersama-sama,
malah kini mereka memperjuangkan nasib masing-masing. Bagi otong tidak masalah
jika dia di mutasi sampai ke pelosok hutan, tidak apa-apa jika calon yang di
dukung nya dulu, kini tak melihat nasib sialnya.
Menjadi
masalah bagi otong yang Membuatnya menyesal seumur hidup, dia kehilangan
beberapa tetangga dan saudara kandungnya, dimana dulu otong mengucilkan nya ,
hanya karna tak mau mendukung pilihan otong.
Di
bawah pohon mangga, disamping rumah otong, ia mencurahkan semua penyesalan nya
kepada ku, awalnya aku tidak terlalu menaruh perhatian dengan ceritanya tapi
lama-kelamaan aku ikut larut kedalam aliran kisah otong.
“sebetulnya
ini tak perlu lagi aku ungkit-ungkit, sakit rasanya di! Tapi biarlah ini
menjadi pelajaran mu ke depan nya!”. Tak ku sangka perawakan otong yang
begitu besar, berkulit hitam dan berkumis tebal, tak mampu membendung air
matanya ketika mengenang pemilu tahun lalu.
Seperti
nya memang sangat sakit permainan demokrasi di negeri ini, bebas namun harus
tunduk, jika tidak maka seperti otong lah nasib kita. Sekarang aku sadar negeri ini, telah di pimpin oleh seorang
diktator yang bertopeng demokratis.
Harus di akui negeri ini telah terbalik,
pemimpin yang seharusnya di salahkan ketika terjadi ke keliruan, eh malah
rakyat yang jadi kambing hitamnya, otong mengatakan bahwa di sini “jika
diam di bilang apatis, jika kritis di bilang sok tau”.
Berkali-kali
otong menasehati ku dengan kalimat yang sama “jangan mau memutuskan
silahturahmi dengan saudara mu, hanya karna berbeda pilihan. pemilu yang akan
datang adalah cobaan besar buat kita semua, semoga masyarakat di sini bisa
belajar dari masa lalu”, cetus otong.
Kalimat jangan
memutuskan silahturahmi sangat di tekan kan otong, mungkin itu
merupakan dosa terbesar yang pernah ia lakukan. sangat miris memang, kini otong
bagaikan hidup sebatang kara, padahal saudara-saudaranya masih hidup.
Lain
lagi dengan nasib saudara-saudara yang masih membenci otong, yang tukang becak
kembali menjadi tukang becak, yang tukang bangunan kembali menjadi tukang
bangunan, padahal mereka kata otong, kemarin mendukung pihak yang menang.
Dari sini otong mengambil kesimpulan bahwa
pertarungan pemilu kemarin “menang jadi dari arang, kalah jadi abu”
tapi kalimat itu hanya di peruntukan untuk para pendukung kedua belah pihak
saja dan para jagoan nya tetap bersahabat meski pun pernah bertarung.
“kampanye
politik saat pemilu seharusnya di jadikan sebagai alat mendidik masyarakat
untuk memahami substansi politik dan cara berdemokrasi dengan baik, bukan malah
menghilangkan bunyi sila ke_3 di dalam jiwa masyarakat” itu kesimpulan
yang pertama ku dapatkan dari perjalanan otong.
Kerinduan
otong saat-saat kebersamaannya dengan saudaranya sangat terlihat jelas di mata
otong “ingin rasa nya aku meyapa, paman ku itu, adik ku itu tapi rasanya
tidak mungkin, mereka terlanjur membeci ku, itu semua salah ku, aku dulu terlalu
fanatik dengan pilahanku”, kata otong.
Harapan seperti nya tidak lagi berpihak kepada
keinginan otong untuk kembali dalam suka
dan duka bersama saudara-saudara yang sangat di cintai nya.
“Berbeda
pilihan boleh, tidak masalah bahkan itu lumrah dalam hidup, tapi amat lah bodoh
jika hanya karna berbeda pilihan kita mesti terpecah belah, apa lagi dengan
saudara sendiri” ini kesimpulan ke dua yang ku dapat dari cerita otong.
Saat
kita di hadapkan pada situasi harus memilih, Rasa hormat dan saling menghargai
adalah sikap yang paling penting untuk di pertahankan. “setelah aku di mutasi ke pelosok
sana, aku tak pernah lagi mau mengajar di” curhat otong pada ku, “aku
tak tahu apakah gaji yang aku ambil haram atau halal, tapi yang jelas aku
seperti ini karna aku juga di permainkan” lanjut otong agak sedikit
dilema.
Kata-kata
otong bukan lah gaya bahasa diplomatis, akan tetapi bahasa lahir dari sebuah
kejujuran dari hati yang teramat dalam. Semakin aku menyadari air mata api
otong adalah penyesalan tanpa akhir, kini aku mendapatkan pelajaran yang amat
berharga, ternyata : “perpecahan itu terjadi bukan
lah karna ada nya perbedaan pendapat dalam memilih, tapi karna sikap kita yang
tidak mau menghormati dengan baik dan menghargai dengan sempurna di setiap
perbedaan itu ”.. sekian.
Note :
·
Cerita Ini hanyalah imajinatif (tidak nyata/asal-asal/tidak pernah terjadi)
·
tempat kejadian/nama daerah sengaja tidak
di cantumkan
·
mohon dikoreksi
DILARANG/MENCIPLAK/MENGAMBIL
TANPA SEPENGETAHUAN BLOG ABDI BIN KARIM
0 Response to "CERPEN AIR MATA API OTONG"
Post a Comment
SILAHKAN share