Oleh Agus Noor
PAHLAWAN hanyalah pecundang yang beruntung. Ratih selalu tak bisa melupakan
kata-kata itu setiap kali melewati jalan ini. Telah banyak yang berubah. Tak
ada lagi deretan kios koran, warung gado-gado, dan penjual bensin eceran di
pojokan. Bangunan kuno asrama mahasiswa yang dulu berada di sisi kanan telah
menjadi ruko bergaya modern. Waktu mengubah gedung-gedung, tapi tidak mampu
mengubah kenangannya.
Ratih tersenyum membaca nama jalan itu. Teringat apa yang dikatakan Eka.
”Banyak orang ingin jadi pahlawan, agar namanya dijadikan nama jalan. Mungkin,
itulah satu-satunya keberuntungan menjadi pahlawan di negara ini.” Ada sinisme
dalam kata-katanya. Tapi itulah, yang ketika pertama kali bertemu dalam satu
diskusi, membuatnya suka pada Eka. Dia selalu menarik perhatian dengan
pernyataan-pernyataan yang disertai kelakar. ”Militerisme pasti mati di
Republik ini. Dan aku adalah orang sipil pertama yang akan menjadi Panglima
ABRI. Tak hanya dapat Bintang Lima. Tapi Bintang Tujuh. Lumayan, bisa buat obat
sakit kepala…” Saat itu Presiden Soeharto memang baru mendapat gelar Jenderal
Besar Bintang Lima. Dan Bintang Tujuh adalah merek puyer obat sakit kepala.
Ratih kemudian tahu, Eka seorang penulis. Mungkin itu sebabnya dia
cenderung penyendiri. ”Aku kurang flamboyan sebagai aktivis,” katanya tertawa.
Dia tak suka tampil berorasi di mimbar. Mungkin sadar, suara cemprengnya tak
akan membuat terpesona para demonstran. ”Dalam perjuangan, ada yang
menggerakkan, ada yang memikirkan. Aku memilih yang kedua,” katanya. ”Mimbar dan
panggung itu godaan. Banyak yang tampil di mimbar hanya ingin mendapatkan
sebanyak mungkin tepuk tangan. Begitu turun panggung, mereka lupa dengan apa
yang mereka katakan.”
Ratih ingat ketika Eka mengantar pulang setelah menonton pertunjukan teater
di Auditorium Fakultas Filsafat. Eka yang menulis naskahnya. Ratih yakin, saat
itu Eka mengajaknya nonton karena dia pingin pamer naskah yang dia ditulis.
Naskah yang menurut Ratih terlalu sok filosofis: bagaimana seseorang mesti
berani meneguk racun untuk membela pemikiran yang diyakininya. Penulisnya
seperti hanya ingin menunjukkan bahwa ia adalah mahasiswa filsafat yang merasa
lebih hebat dari Socrates yang dipujanya. ”Lakon yang kamu tulis itu
membuktikan kamu memandang hidup ini getir. Makanya selalu sinis.”
”Sinis bagaimana?”
”Ya, hampir semua hal kamu tanggapi dengan nyinyir…”
”Jangan salah,” Eka menatapnya tajam. ”Kamu harus membedakan antara filsuf
dan orang biasa. Kalau orang biasa sinis, akan dianggap nyinyir. Tapi kalau
filsuf sinis, itu disebut kritis.”
”Gundulmu, Ka!!
Eka tertawa dan memeluk pundaknya. Entah kenapa, saat itu ia tak mencoba
mengelak.
Laki-laki romantis adalah laki-laki yang bisa membuat perempuan tertawa.
Ratih teringat kalimat di sebuah buku: menikahlah dengan laki-laki pertama yang
membuatmu tertawa. Ia lupa judulnya. Yang tak ia lupa ialah ketika Eka datang
ke rumahnya pertama kali pada malam Jumat. Tidak membawa bunga, tapi martabak.
”Pertama, mesti kutegaskan,” katanya. ”Aku sengaja datang malam Jumat, karna
tahu, malam Minggu kamu sudah milik orang lain. Aku tak berhak mengganggunya.
Seseorang yang bahagia adalah seseorang yang diberi kesempatan memilih dalam
hidup. Maka aku memberimu kesempatan, agar kamu bisa memilih sendiri
kebahagiaanmu. Tak perduli, apakah bagimu nantinya aku pilihan kedua atau
pertama.”
”Jadi kamu tahu aku sudah punya pacar?”
”Kalau perempuan semanis kamu tidak punya pacar, pasti ada yang salah pada
selera semua laki-laki di dunia ini.”
Ratih tertawa.
”Dan kedua, soal martabak ini. Sebagai anak kost, aku mesti yakin, bahwa
aku tidak membelikanmu sesuatu yang akan sia-sia. Itu sebabnya aku membawakanmu
martabak.”
”Kenapa?”
”Karna bila kamu tak suka, aku bisa memakannya sendiri.”
Ia memang tak suka martabak. Hanya mencicip sepotong untuk basa-basi,
selebihnya Eka yang menghabiskan. Sejak itu (seperti yang selalu diistilahkan
Eka) dia menjadi ”pemilik malam Jumat”. Sebab ”pemilik malam Minggu” adalah
Munarman, mahasiswa ekonomi sefakultas yang sudah dua tahun menjadi pacar
Ratih. Keduanya kutub yang bertolak belakang.
Munarman–lebih suka di panggil Arman–bertubuh tegap atletis. Seorang yang
selalu tak ingin ketinggalan baju-baju yang sedang menjadi mode di majalah
popular. Eka ringkih dan selalu tampak kucel dengan kaos yang seminggu bisa
dipakainya terus-menerus. Dia punya argumen: jauh lebih berguna menghabiskan
waktu untuk membaca buku dari pada untuk mencuci baju. Arman selalu mengajaknya
ke kafe, diskotik atau ramai-ramai karaokean dengan kawan-kawan gaulnya. Bila
mengajaknya keluar, Eka membawanya ke acara-acara diskusi, pembacaan puisi,
pameran lukisan atau sampai larut menghabiskan sepoci teh di warung deket
kampus. Seringkali malah hanya jalan kaki, menyusuri jalanan tanpa tujuan.
”Jalan kaki ini bukan perkara idiologi,” kata Eka, ”tapi karena aku memang tak punya
mobil.” Terdengar sinis seperti biasa. Seakan ditujukan pada Arman yang memang
selalu menjemput Ratih dengan mobil terbarunya.
Arman anak purnawirawan Kolonel Angkatan Darat. Ayah Eka guru Sekolah Dasar
Inpres di sebuah desa–yang dalam ungkapan Eka sendiri disebutnya ”tak akan
pernah pantas dimasukkan dalam peta Indonesia saking terbelakangnya”. Arman
selalu pamer pangkat orangtuanya. ”Orang-orang seperti ayahkulah yang memiliki
negara ini,” kelakar Arman yang kerap diulangnya dengan nada bangga. Eka begitu
menghormati kemiskinan ayahnya. ”Aku ingin menjadi filsuf karena merasakan
nasib ayahku. Seorang yang dalam hidupnya sanggup menanggung dua penderitaan
sekaligus. Pertama, karena ia guru. Kau tahu nasib guru di negara ini, kan?
Mulia statusnya, tapi melarat nasibnya. Kedua, karena ia beristri perempuan
yang tak hanya cerewet tapi juga galak dan menindas. Penindasan paling
kontemplatif selalu datang dari seorang istri. Itu sebabnya ayahku selalu
murung dan termenung. Nah, kini kau tahu, kenapa aku mengagumi ayahku dan
Socrates! Itulah alasan filosofis, kenapa aku memilih masuk Fakultas Filsafat.
Alasan idiologisnya, karena aku tertindas. Sedang alasan praktisnya, karena
jurusan filsafat tak banyak peminatnya.”
Ratih sering bertanya pada dirinya sendiri, kenapa ia bisa menyukai dua
laki-laki itu? Mungkin karena bersama Arman ia menikmati hidup. Sementara
dengan Eka ia merasa ada sesuatu yang mesti diperjuangkan dalam hidup.
Di bulan-bulan penuh demonstrasi menjelang reformasi, ia sering mencemaskan
Eka. Aparat semakin keras dan represif menghadapi para mahasiswa yang turun ke
jalan menuntut Soeharto mundur. Berkali-kali terjadi bentrokan dan aparat tak
hanya menembakkan gas air mata. Lima mahasiswa terluka tertembak peluru karet,
dalam satu bentrokan di bundaran kampus. Seorang mahasiswa yang sedang memotret
dihajar puluhan aparat, tubuhnya yang sudah terkapar terus ditendang, kameranya
diinjak-ijak. Tubuh mahasiswa yang sudah berdarah-darah itu diseret lebih dari
100 meter di aspal jalan yang panas sambil terus ditendangi dan dipukuli dengan
pentungan.
Sementara usai demonstrasi menutup jalan pertigaan depan kampus IAIN Sunan
Kalijaga, delapan kawan mahasiswa diciduk aparat. Kabarnya mereka disekap di
Kodim. Beberapa aktivis segera berkumpul di rumah kontrakan di Gang Rode yang
sering dijadikan tempat pertemuan–”rapat gelap” istilah mereka–dalam suasana
penuh kecurigaan. Beberapa orang dianggap sebagai intel militer yang
disusupkan. Eka mengajaknya ke pertemuan itu. Daulay, Ata, Toriq, Maria, Seno,
Budiman, Semendawai, Afnan, Damai, Leyla, Rizal, Rahzen, dan beberapa yang
hadir tak bisa menyembunyikan ketegangannya, bicara dengan nada tinggi,
membentak dan saling tuding.
”Secepatnya kita harus melakukan lobby untuk membebaskan kawan-kawan kita.”
”Biar intel militer kayak kamu yang urus!”
Seseorang menggebrak meja. Ratih tak melihat jelas siapa. Ia agak sembunyi
di belakang Eka.
”Ada yang sudah dapat kabar keadaan mereka?”
”Tenang,” kata Eka. ”Penjara, akan membuktikan tangguh tidaknya mereka.
Lagi pula, penjara justru meningkatkan martabat para pembangkang.”
Penjara. Sering Ratih merasa ngeri setiap membayangkan pada akhirnya Eka
akan mengalaminya. Sanggupkah tubuh Eka yang kurus menahan siksaan disetrum,
dibaringkan di atas balok es semalaman, dijepit jempolnya dengan tang atau
digampar popor senapan? Eka memeluknya ketika Ratih mengungkapkan kecemasannya.
Malam itu pertama kali Ratih menginap di kamar kost Eka. ”Kekuatan manusia
bukan pada tubuhnya, tapi jiwanya,” kata Eka. ”Kau sudah baca novel Jalan Tak
Ada Ujung Mochtar Lubis? Pada akhirnya bukan Hazil yang muda, bersemangat, dan
tampak kuat yang mampu bertahan oleh siksaan. Tapi Guru Isa yang tua, kelihatan
lemah dan impotent.” Malam itu Ratih merasakan badan Eka hangat dan gemetar.
Eka tak bisa menyembunyikan kegugupan ketika mulai menciuminya. Ratih tahu, itu
bukan kegugupan laki-laki yang baru tidur pertama kali dengan perempuan.
Demonstrasi nyaris terjadi setiap hari. Ia sering bersama Eka malam-malam
keluar masuk gang-gang menyebarkan selebaran. Seperti gerilyawan kota, kata
Eka. Sementara Arman mulai terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya.
”Jangan dikira aku tak tahu hubunganmu dengan Eka,” katanya. ”Persetan dengan
politik! Tapi pada akhirnya aku yakin, kamu akan memilih aku. Terlalu beresiko
kamu hidup dengan Eka. Pertama, kamu akan menderita. Kedua, kamu cepat jadi
janda. Eka pasti akan mati diculik atau diracun. Karna begitulah nasib
aktivis.”
Bila Ratih semakin cemas, itu bukan karna ucapan Arman, tapi rasanya memang
ada yang tak akan pernah mungkin mampu ditanggungnya bila ia terus dekat Eka.
Ibu pun sudah mulai tak suka setiap kali Eka datang ke rumah. Berita-berita
demonstrasi di televisi membuat ibu melarangnya pergi. Ia tak menyalahkan. Itu
perasaan wajar seorang ibu yang telah bertahun-tahun hidup sendirian
mencemaskan anak perempuan satu-satunya.
Ratih sedang makan malam dengan ibunya ketika bentrokan antara mahasiswa
dan aparat di jalan tak jauh dari rumah terus berlangsung hingga selepas isya.
Mahasiswa yang berdemonstrasi sejak pagi terus bertahan menutup jalan hingga
malam. Semakin malam semakin banyak warga yang ikut bergabung. Aparat
membubarkan paksa, dengan menembakkan gas air mata. Truk-truk yang mengangkut
pasukan terus menderu melintas, suaranya terdengar dari rumah Ratih. Serentetan
suara senapan dan ledakan sesekali menggelegar. Suasana mencekam bahkan terasa
hingga ke dalam rumahnya. Beberapa demonstran beberapa kali terlihat berlarian
masuk ke dalam gang samping. Aparat menggedor-gedor pintu, mencari mahasiswa
yang sembunyi di dalam rumah penduduk. Saat itulah Ratih mendengar pintu
diketuk. Ibu terlihat pucat. Hati-hati ia mengintip dari celah korden, ternyata
Arman. Dia buru-buru masuk dengan gugup. Dia bercerita kalau dirinya terjebak
di tengah-tengah kerusuhan ketika menuju ke mari. Di jalan ada dua panser yang
memblokade jalan. Mobilnya digebrak-gebrak dan diancam hendak dibakar. Mobil ia
tinggalkan, dan segera berlari menyelamatkan diri. Ibu memberinya segelas air
putih. Tangan Arman gemetaran memegangi gelas.
Baru tengah malam bentrokan mereda. Karena merasa sudah aman, Arman pamit
pada ibu untuk melihat mobilnya sekalian mau beli rokok. Ada dua hal yang tak
gampang diduga: nasib dan politik. Esok siangnya Ratih mendengar kabar yang tak
pernah dibayangkan. Arman mati tertembak peluru nyasar, ketika bentrokan
kembali memanas di jalan itu dan aparat dengan serampangan melepaskan tembakan.
Ratih juga tak lagi bertemu Eka setelah bentrokan yang terus berlangsung hingga
subuh itu. Tak ada yang tahu ke mana Eka. Kawan-kawannya yakin Eka diculik, dan
tak jelas nasibnya.
Begitu lulus kuliah, Ratih memilih pergi dari kota ini. Berusaha melupakan
ingatan pahit itu. Hanya pulang sesekali untuk menengok ibunya. Dan setiap kali
pulang, mau tak mau ia pasti melewati jalan ini, dan kenangan itu selalu muncul
kembali. Dulu ia mengenal jalan ini sebagai Jalan Sutowijayan. Kini bernama
Jalan Munarman. Pecundang memang sering kali lebih beruntung.
Yogyakarta, 2010-2013
(Cerita buat Eka Kurniawan)
*Ilustrasi Karya :
Rahardi Handining
*Terbit di Harian Kompas pada 26 Januari 2014
*Terbit di Harian Kompas pada 26 Januari 2014
0 Response to "CERPEN MATINYA SEORANG DEMONSTRAN"
Post a Comment
SILAHKAN share